Sejarah kolonial seringkali menyimpan narasi yang penuh dengan kesedihan dan perlawanan. Salah satu kisah yang patut dicermati adalah tragedi yang dialami oleh Qiu Zuguan, seorang pejabat VOC yang dikenal karena kebijakan-kebijakan yang sangat merugikan rakyat, khususnya masyarakat Tionghoa. Meskipun posisinya terhormat, Qiu justru meninggalkan jejak kebencian yang mendalam di hati rakyat.
Pada masa pemerintahannya, ia diharuskan untuk memungut pajak dari berbagai aspek kehidupan, membuat hidup rakyat semakin tertekan. Setelah kematiannya, tidak ada seorang pun yang bersedia mengantar jenazahnya ke tempat peristirahatan terakhir.
Kisah ini menggambarkan betapa besar dampak dari kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat. Rasa benci dan sakit hati itulah yang terus mengenang sosok Qiu setelah ia tiada.
Qiu Zuguan dan Peranannya dalam VOC di Batavia
Qiu Zuguan menjabat sebagai kepala lembaga Boedelkalmer, sebuah badan yang bertanggung jawab mengurus harta peninggalan warga Tionghoa. Dalam tugasnya, ia diharuskan untuk memastikan segala aset yang ditinggalkan ditarik pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kebijakan ini menjadikan banyak warga Tionghoa kehilangan harta mereka.
Awalnya, posisi ini terlihat prestisius, namun bagi rakyat, ini adalah beban berat. Kesulitan dan ketidakadilan mulai terasa saat pajak semakin tinggi dan aturan semakin ketat, menjadikan kehidupan sehari-hari sangat trenyuh.
Pekerjaan Qiu tidak hanya tentang pengelolaan aset, tetapi juga mengenai pengawasan panjang terhadap kehidupan individu. Setiap aspek, termasuk pernikahan dan kematian, menjadi sumber pajak baru yang memberatkan rakyat.
Kebijakan Pajak yang Menyengsarakan Rakyat
Sejarah mencatat bahwa di bawah kepemimpinan Qiu, pajak dikenakan pada hampir semua aspek keseharian masyarakat Tionghoa. Satu contoh yang mencolok adalah pajak untuk upacara pernikahan, yang membuat warga terpaksa merogoh kantong lebih dalam di saat seharusnya mereka merayakan kebahagiaan.
Setelah kehilangan orang tercinta, keluarga harus menghadapi kenyataan pahit berupa pajak kematian. Pungutan ini dianggap tidak manusiawi, terutama ketika keluarga sedang berduka. Aktivitas pengurusan jenazah yang seharusnya sakral justru digempur oleh beban finansial.
Hal ini jelas menunjukkan bagaimana kebijakan pajak satu demi satu mengikis wajah kemanusiaan dari pemerintah pada masa itu. Kebijakan ini tidak hanya memiskinkan rakyat, tetapi juga menunjukkan bahwa ketidakadilan adalah sesuatu yang sistemik.
Reaksi Rakyat terhadap Kebijakan yang Menyakitkan
Rasa sakit dan ketidakpuasan rakyat terhadap Qiu tidak bisa disembunyikan. Mereka merasakan dampak langsung dari kebijakan-kebijakan yang merugikan dan melanggar hak-hak dasar mereka. Kebencian ini terus menguat seiring waktu, membuat mereka merasa tertekan dan dikhianati.
Benny G. Setiono dalam karyanya menyoroti bahwa masyarakat Tionghoa pada saat itu adalah kelompok yang paling sering menjadi target pajak. Dalam situasi tersebut, mereka terpaksa menerima dengan patuh kebijakan yang merugikan, meskipun banyak yang merasakan sakit hati.
Ketika Qiu meninggal pada tahun 1721, perasaan tersebut mendapatkan saluran untuk diekspresikan. Tiada satu pun yang rela mengangkat peti jenazahnya, hal ini mengindikasikan betapa kuatnya rasa benci yang terpendam di hati rakyat.
Pokkosis dan Kenangan Pahit Setelah Kepergiannya
Di saat serah terima terakhir, peti mati Qiu hanya dibiarkan tergeletak di tengah jalan karena tidak seorang pun mau mengangkatnya. Hal ini menjadi simbol kekesalan yang terpendam selama bertahun-tahun. Keluarganya betul-betul kewalahan menghadapi situasi ini, ditolak oleh peninggalan sejarah yang tidak mengenal ampun.
Akhirnya, untuk menguburkan Qiu, keluarganya terpaksa menyewa orang untuk mengangkat jenazahnya, mengingat tak ada yang bersedia melakukan itu secara sukarela. Situasi ini mencerminkan bagaimana rasa benci dapat mewarnai hubungan antara pemerintah dan rakyat.
Walaupun jasadnya sudah terbenam dalam tanah, pengaruh dari kebijakan-kebijakan yang dijalankannya tetap tertinggal di ingatan rakyat. Tragedi bagi Qiu pun menjadi pelajaran bagi banyak orang di masa depan bahwa kebijakan yang tidak adil dapat melahirkan dampak yang menyedihkan.