Ratusan tahun silam, masyarakat Batavia hidup dalam bayang-bayang ketakutan karena keberadaan harimau. Hewan buas ini tidak hanya menjadi ancaman bagi penduduk lokal, tetapi juga menyerang para penjajah, menciptakan kecemasan yang mendalam di antara semua lapisan masyarakat.
Sejarah mencatat bahwa pola serangan harimau sering kali terjadi di area tertentu, terutama di kebun tebu. Kebun ini menjadi habitat ideal bagi harimau, karena banyaknya babi hutan yang menjadikannya sebagai mangsa.
Dalam satu insiden mengerikan pada tahun 1659, terlapor sebanyak 14 orang menjadi korban serangan harimau di kawasan Ancol. Ini hanya satu dari sekian banyak laporan yang mencerminkan betapa seriusnya situasi ketika itu.
Menelusuri Akibat Serangan Harimau di Batavia
Sejak awal abad ke-17, serangan harimau di Batavia menjadi fenomena yang sulit diabaikan. Terlebih lagi, pada tahun 1668, seorang perwakilan Eropa bernama Louis van Brussel juga menjadi korban dalam serangan harimau. Insiden tersebut memerlukan intervensi dari VOC, yang merasa perlu mengerahkan tenaga untuk mengatasi masalah ini.
Menurut sejarawan Hendrik E. Niemeijer, VOC mengirimkan sekitar 800 orang untuk berburu harimau guna melindungi penduduk. Tindakan agresif yang diambil oleh VOC menjadi penyelamat sementara bagi masyarakat Batavia.
Bahkan, sisa-sisa harimau yang diburu dipamerkan di depan Balai Kota untuk menunjukkan keberhasilan mereka. Langkah ini tidak hanya berfungsi sebagai propaganda, tetapi juga memberikan rasa aman bagi warga yang menderita karena serangan harimau.
Taktik Perburuan yang Dilakukan oleh VOC dan Dampaknya
VOC menawarkan insentif yang menarik bagi siapa pun yang berhasil menangkap harimau, yakni imbalan uang tunai. Mereka mencatat bahwa hadiah yang diberikan setara dengan sepuluh ringgit, cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar satu keluarga. Hal ini mendorong banyak orang untuk mengambil bagian dalam perburuan.
Perburuan yang dilakukan dengan intensitas tinggi membuat populasi harimau Jawa menurun drastis. Populasi tersebut diperkirakan mencapai angka 200-300 ekor pada tahun 1940, tetapi akibat perburuan tanpa henti, jumlahnya terus menyusut.
Seiring berjalannya waktu, habitat harimau juga mengalami penurunan. Pembukaan lahan untuk perkebunan dan pemukiman mengakibatkan bertambahnya konflik antara manusia dan harimau. Penelitian yang dilakukan oleh antropolog R. Wessing mengungkapkan bahwa rata-rata dua ribu lima ratus orang mengalami kematian akibat serangan harimau per tahun pada masa kolonial.
Tragedi Kepunahan Harimau Jawa dan Upaya Konservasi
Kepunahan harimau Jawa adalah salah satu tragedi terbesar dalam sejarah konservasi satwa liar di Indonesia. Setelah mengalami perburuan yang masif, harimau Jawa akhirnya dinyatakan punah oleh Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) pada tahun 2008. Hal ini menandai akhir dari salah satu spesies yang pernah berkuasa di wilayah tersebut.
Sejak pernyataan kepunahan itu, meskipun muncul laporan penampakan harimau Jawa, bukti-bukti yang kredibel tetap sulit didapatkan. Namun, pada tahun 2019, beberapa warga Desa Cipendeuy di Sukabumi Selatan mengklaim telah melihat harimau Jawa, serta menemukan jejak kaki dan bulu yang diduga milik harimau tersebut.
Meskipun klaim ini menarik perhatian banyak pihak, banyak peneliti tetap skeptis. Mereka menegaskan bahwa perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengkonfirmasi keberadaan harimau Jawa. Keberadaan spesies ini sangat penting untuk ekosistem dan budaya lokal, sehingga upaya konservasi sangat diharapkan.