Sejarah hubungan diplomatik antara Indonesia dan Amerika Serikat menyimpan banyak kisah menarik, terutama terkait interaksi antara pemimpin kedua negara. Salah satu cerita paling menarik adalah tentang insiden yang melibatkan Duta Besar AS, Marshall Green, dan Presiden Indonesia, Soekarno, yang melibatkan unsur humor dan ketegangan diplomatik.
Green yang diutus oleh Presiden Lyndon Johnson sebagai Duta Besar AS untuk Indonesia mulai bekerja sejak 26 Juli 1965. Dengan latar belakang yang kontroversial, kehadirannya di Indonesia tidak disambut baik oleh Soekarno, yang menganggap Green sebagai simbol dari kebijakan luar negeri yang tidak menyenangkan dari Amerika.
Hubungan antara Soekarno dan Green tidak harmonis semenjak awal. Kebencian Soekarno terhadap Amerika Serikat semakin memperburuk situasi, dan saat Green dilantik, pernyataan-pernyataan tajam Soekarno mengenai kebijakan luar negeri AS menjadi perhatian semua pihak yang hadir.
Akibat Ketegangan dalam Diplomasi RI-AS yang Menarik Perhatian
Soekarno secara terbuka mengecam intervensi Amerika dalam urusan politik Indonesia, sesuatu yang terasa di ruangan saat pelantikan Green sebagai Duta Besar. Saksi mata mengatakan, ekspresi frustrasi Green terlihat jelas, dan dia bahkan nyaris meninggalkan acara tersebut. Namun, dia memilih untuk tetap bertahan hingga akhir.
Pada 28 September 1965, insiden semakin memanas ketika Soekarno mengundang Green ke acara peletakan batu pertama Universitas Indonesia. Situasi menjadi semakin lucu ketika Soekarno mempersembahkan durian kepada Green, yang diketahui memiliki ketidaksukaan terhadap buah berbau menyengat ini.
Dengan rasa tertekan, Green dihadapkan pada tantangan untuk mengalahkan rasa malunya demi menjaga kehormatan negaranya. Dalam suasana yang penuh canda, Soekarno menciptakan tekanan dengan meminta semua yang hadir untuk mendukung Green untuk memakan durian, membuat situasi semakin konyol.
Mitos dan Ketakutan di Balik Aspek Budaya dalam Diplomasi
Tak hanya soal durian, ketidaksukaan Green terhadap tradisi Indonesia lainnya juga terlihat ketika dia diundang ke Pelabuhan Ratu, yang dikenal dengan legenda Nyi Roro Kidul. Green merasa khawatir akan cerita-cerita mistis seputar tempat tersebut yang membuatnya merasa terancam.
Dia mengetahui bahwa sebuah kejadian tragis menimpa seorang pejabat tinggi Bulgaria yang tewas terseret ombak saat berkunjung ke pantai Pelabuhan Ratu. Kejadian tersebut membuat Green semakin ragu untuk terlibat dalam budayanya yang belum sepenuhnya ia pahami.
Nama Green sendiri, yang berarti hijau dalam bahasa Indonesia, menambah kecemasannya, mengingat hijau adalah warna kesukaan Nyi Roro Kidul. Hal ini membuatnya semakin enggan menghadiri undangan ke pantai yang terkenal angker tersebut, bahkan saat diundang langsung oleh Soekarno.
Era Kebangkitan dan Kehancuran: Pengalaman Green di Indonesia
Marshall Green bertugas di Indonesia hingga tahun 1969, menyaksikan bertumbangnya pemerintahan Soekarno dan naiknya Soeharto sebagai Presiden. Pengalaman ini menambah panjang deretan reputasi Green yang selalu berhubungan dengan kudeta di negara tempat ia bertugas.
Sebagai Duta Besar, Green berada di posisi yang strategis untuk memahami dinamika politik yang berlangsung. Dia mencatat semua perubahan itu, mulai dari proklamasi kemerdekaan hingga transisi kekuasaan pasca Soekarno.
Reputasi Green sebagai tokoh yang berkontribusi pada perubahan pemerintahan dibuktikan di berbagai negara yang pernah dia tinggali. Di semua tempat tersebut, gejolak politik sering kali menjadi tema utama yang menyoroti perannya sebagai diplomat.
Insiden-insiden diplomatik yang melibatkan Green dan Soekarno bukan hanya sekadar cerita lucu, tetapi juga menunjukkan bagaimana budaya, politik, dan hubungan antarnegara saling berkait. Kita bisa melihat bagaimana komunikasi antara dua pemimpin dari latar belakang yang berbeda dapat membentuk sejarah.
Kisah Marshabl Green dan Soekarno memberikan pelajaran dalam hubungan diplomatik bahwa humor dan ketegangan sering kali berjalan beriringan, menciptakan momen-momen yang tak terlupakan. |