Di kedalaman hampir 200 meter di perut bumi Afrika Selatan, sebuah tragedi yang mengubah sejarah pertambangan dunia terjadi. Kejadian memilukan ini dimulai pada hari Kamis, 21 Januari 1960, ketika ribuan pekerja tambang Coalbrook memasuki area kerja mereka dengan penuh harapan, tanpa menyadari bahwa hari itu akan menjadi hari terburuk dalam hidup mereka.
Tambang Coalbrook dikenal sebagai salah satu produsen batu bara terbesar di Afrika Selatan, beroperasi tanpa henti sejak tahun 1905. Setiap hari, ribuan ton batu bara dihasilkan dan dikirim ke permukaan untuk memenuhi kebutuhan energi negara. Dalam lima tahun sebelum bencana, produksi telah mencapai lebih dari dua juta ton per tahun, memberikan kontribusi signifikan bagi ekonomi setempat.
Namun, hari itu tidak seperti hari-hari biasa. Saat menuju siang, suara gemuruh mulai terdengar dari dinding tambang, menciptakan suasana tegang di antara para pekerja. Walaupun banyak di antara mereka merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres, rasa takut akan sanksi dari atasan membuat mereka tetap melanjutkan pekerjaan.
Kejadian Mengerikan di Pertambangan Coalbrook
Rasa kepanikan semakin meningkat saat suara gemuruh makin keras. Udara di dalam tambang terasa berat dan menekan, membuat beberapa pekerja mulai berusaha naik ke permukaan. Mereka khawatir akan kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi, meskipun tetap ada rasa ketakutan akan hukuman jika mereka meninggalkan tugas.
Khawatir akan penurunan produksi yang akan berujung pada hilangnya keuntungan, para pekerja dipaksa untuk melanjutkan pekerjaan meski dalam keadaan genting. Pada pukul 16.30, malapetaka terjadi: dinding tambang runtuh disertai longsoran besar yang membuat lorong-lorong menjadi tak bisa dilalui dan udara semakin menipis. Dalam keadaan yang sangat panik, ratusan pekerja berusaha menyelamatkan diri.
Begitu sampai di permukaan, mereka gagah berusaha melawan perintah untuk kembali turun, tetapi bos tetap memaksa dengan ancaman hukuman penjara. Dalam konteks sistem apartheid yang berlaku saat itu, kehidupan banyak pekerja kulit hitam sangat memprihatinkan dan membuat mereka sulit melawan. Perusahaan menjadikan mereka sebagai mesin pencari keuntungan, tanpa mengindahkan keselamatan jiwa.
Evakuasi dan Penyelamatan yang Tidak Berhasil
Setelah longsor kedua, situasi semakin buruk. Ratusan pekerja yang terjebak terisolasi di kedalaman 182 meter dan evakuasi segera dilakukan. Tim penyelamat berusaha menghitung jumlah pekerja yang terjebak dan menggunakan metode mengebor dari atas, berharap masih ada ruang bernapas tersisa di bawah tanah, tetapi upaya tersebut tidak membuahkan hasil.
Investigasi menunjukkan bahwa banyak dari pekerja yang terjebak sebenarnya telah tertimbun reruntuhan dan terkurung dalam kondisi yang sangat berbahaya. Gas metana dan karbon dioksida beracun menjadi ancaman nyata yang membuat penyelamatan menjadi semakin sulit. Para pekerja tidak hanya terjebak, tetapi juga berada dalam bahaya besar jika tidak segera ditemukan.
Situasi semakin menyedihkan ketika terungkap bahwa tambang Coalbrook seharusnya sudah ditutup sebelumnya. Struktur tambang yang rapuh tidak layak untuk diteruskan operasinya, namun dorongan untuk mengeksploitasi sumber daya kala harga batu bara melonjak membuat perusahaan tetap menjalankan aktivitas meski dengan peralatan yang tidak memadai.
Dampak Sosial dan Hukum dari Tragedi Ini
Tragedi Coalbrook menyisakan duka mendalam bagi keluarga korban. Pengadilan yang berlangsung setelahnya hanya mencatat kejadian ini sebagai “kecelakaan kerja”, tanpa memberikan kompensasi atau keadilan bagi para keluarga yang kehilangan orang-orang terkasih. Hal ini menunjukkan betapa rendahnya nilai kehidupan pekerja di mata perusahaan dan hukum yang berlaku saat itu.
Dengan lebih dari 400 jiwa kehilangan nyawa, bencana ini menjadi titik balik dalam diskusi tentang keselamatan kerja di industri pertambangan. Masyarakat mulai bertanya-tanya mengapa keselamatan pekerja tidak menjadi prioritas utama, mengingat risiko yang tinggi di lingkungan kerja yang berbahaya. Diskusi ini akhirnya membawa perubahan perlahan, meskipun jalan menuju perbaikan sangat panjang.
Tragedi ini juga membuka mata banyak pihak tentang kekejaman sistem apartheid yang masih berlaku. Pekerja kulit hitam, yang mayoritas menghuni tambang, harus mempertaruhkan nyawa hanya demi keuntungan segelintir orang. Ketidakadilan ini perlahan membangkitkan semangat perlawanan dan membangunkan kesadaran kolektif tentang pentingnya keselamatan dan hak pekerja di tempat kerja.