Baru-baru ini, kasus paparan radiasi radioaktif Cs-137 di Kawasan Industri Modern Cikande, Banten, menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat. Dalam konferensi pers, Menteri Koordinator Bidang Pangan menginformasikan bahwa sembilan orang dinyatakan terpapar radiasi akibat insiden ini.
Pemeriksaan telah dilakukan terhadap lebih dari seribu lima ratus pekerja dan masyarakat di sekitar kawasan tersebut. Untungnya, angka tersebut menunjukkan bahwa dampak serius tidak terjadi, meskipun sembilan orang yang terpapar telah mendapatkan penanganan medis yang diperlukan.
Insiden ini menyadarkan kita akan sejarah panjang Indonesia dalam menghadapi bencana akibat paparan radiasi. Salah satu peristiwa paling mencolok adalah saat bom atom dijatuhkan di Hiroshima pada 6 Agustus 1945, yang memiliki dampak besar bagi banyak orang, termasuk tiga mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di Jepang.
Sejarah Tiga Mahasiswa Indonesia di Hiroshima
Tiga mahasiswa tersebut adalah Syarif Adil Sagala, Arifin Bey, dan Hassan Rahaya, yang belajar di Universitas Waseda, Tokyo. Mereka mendapat beasiswa dari pemerintah Jepang lewat program Nanpo Tokubetsu Ryogakusei, yang dirancang untuk menarik pemuda Indonesia agar memperoleh ilmu di Jepang dan kembali ke tanah air.
Nasib sial menghadang mereka saat serangan bom atom menghancurkan Hiroshima. Pada saat ledakan, mereka tengah berada dalam kelas masing-masing, unaware of the impending disaster. Dalam memoarnya, Sagala menggambarkan bagaimana suara mengerikan dan kilatan sinar tak terduga menghancurkan segala sesuatu di sekeliling mereka.
Ledakan tersebut menewaskan sekitar 120 ribu orang dalam sekejap. Banyak yang dapat diselamatkan, termasuk ketiga mahasiswa itu, namun mereka mengalami luka parah akibat radiasi. Kejadian tragis ini menjadi catatan kelam dalam sejarah, mengingat dampak jangka panjang yang mereka alami karena paparan radiasi.
Penyelamatan dan Perjuangan Hidup Setelah Hiroshima
Setelah ledakan, ketiga mahasiswa tersebut dievakuasi ke Tokyo dengan luka-luka serius. Di ibukota Jepang, mereka mendapat perawatan medis, tetapi kondisi kesehatan mereka tetap menurun. Banyak yang tidak menyadari bahwa efek paparan radiasi akan terus menghantui mereka.
Pemeriksaan medis menunjukkan penurunan drastis pada jumlah sel darah putih mereka. Dalam keadaan normal, jumlah sel darah putih manusia berkisar antara 4.000 hingga 11.000 per mikroliter darah, tetapi angka mereka di bawah normal. Hal ini menciptakan kekhawatiran mendalam mengenai kemungkinan mereka untuk tetap hidup.
Dokter bahkan kehilangan harapan dan meminta mereka untuk menandatangani surat pernyataan yang mengesampingkan hak mereka jika terjadi hal yang tidak diinginkan. Keputusan ini menunjukkan betapa putus asanya tim medis saat itu dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan tersebut.
Berkah Keselamatan dan Kembali ke Tanah Air
Namun, keajaiban datang setelah seminggu dalam kondisi kritis. Ketiga mahasiswa tersebut mampu bertahan hidup meski dalam kondisi mengejutkan. Setelah lima tahun pengawasan medis, akhirnya mereka diperbolehkan untuk pulang ke Indonesia.
Sepulang dari Jepang, mereka menjalani hidup masing-masing, berusaha meneruskan cita-cita dan impian yang sempat terhenti. Syarif Adil Sagala dan Hassan Rahaya merintis bisnis, sedangkan Arifin Bey berkarir sebagai diplomat.
Perjalanan hidup mereka menjadi bukti kekuatan perjuangan dan harapan meski di tengah bencana dan kesulitan. Hingga saat ini, pengalaman mereka tetap menjadi pengingat akan bahaya radiasi dan dampaknya bagi manusia, mengingatkan kita untuk selalu waspada terhadap potensi bencana serupa di masa mendatang.