Kedatangan Prabowo Subianto di Belanda menandai sebuah babak baru dalam hubungan bilateral antara Indonesia dan Belanda. Dalam kunjungan ini, Prabowo diharapkan dapat memperkuat kerjasama strategis melalui pertemuan dengan Raja Willem Alexander dan Perdana Menteri Belanda. Momen ini tentu sangat berbeda dibandingkan dengan kunjungan pertama Presiden Indonesia ke negeri kincir angin tersebut.
Kunjungan pertama tersebut dilakukan oleh Soeharto pada tahun 1970, di mana suasana yang ada sangat kontras dengan saat ini. Saat itu, Soeharto disambut aksi demonstrasi dan ketegangan yang melibatkan kelompok separatis yang berusaha mengganggu agenda resmi kunjungan.
Peristiwa tersebut memunculkan berbagai dinamika antara dua negara yang pernah memiliki sejarah panjang ini. Sebagai presiden yang mewakili negara merdeka, kedatangan Soeharto diwarnai dengan banyak tantangan yang harus dihadapi pada saat itu.
Sejarah Kunjungan Pertama Soeharto ke Belanda
Kunjungan Soeharto ke Belanda pada 31 Agustus 1970 menjadi tonggak sejarah bagi hubungan diplomatik Indonesia. Sebelumnya, Soekarno, pendiri negara ini, menolak untuk mengunjungi Belanda karena rasa sakit akibat kolonialisme yang dirasakan oleh rakyat Indonesia. Hal ini menjadi latar belakang bagi kunjungan Soeharto yang berusaha untuk merajut kembali hubungan antara kedua negara.
Namun, situasi mendesar ketika kelompok pemuda yang mengidentifikasi diri sebagai bagian dari Republik Maluku Selatan (RMS) melakukan demonstrasi dan aksi anarkis. RMS berusaha menarik perhatian dunia terhadap isu separatisme di Indonesia, yang mereka rasakan tidak terakomodasi oleh pemerintah pusat. Rasa ketidakpuasan ini menjadi landasan aksi yang mereka lakukan.
Gerakan RMS muncul setelah deklarasi separatis pada tahun 1950, yang bertujuan untuk memisahkan Maluku dari Indonesia. Aksi mereka di Belanda diharapkan bisa menjadi sinyal bagi pemerintah Indonesia untuk mendengarkan keluhan rakyat Maluku. Sayangnya, hal ini justru membuat kunjungan Soeharto diwarnai ketegangan.
Tindakan Terhadap Ancaman Keamanan
Ketika insiden aksi penyanderaan terjadi di Den Haag, perhatian dunia tertuju pada keamanan kunjungan Soeharto. Demonstrasi yang berlangsung saat itu membuat pemerintah Belanda harus bertindak tegas dengan mengeluarkan larangan berdemonstrasi. Ini merupakan langkah nyata untuk menjaga ketertiban dan keamanan terhadap kunjungan kepala negara.
Tindakan pemerintah Belanda yang cepat merespons situasi tersebut mencerminkan keseriusan dalam menangani ancaman yang ada. Mereka mengerahkan mobil-mobil lapis baja dan meningkatkan pengamanan di sekitar kediaman Dubes RI. Hal ini menjadi langkah antisipasi untuk memastikan kunjungan Soeharto tetap berjalan dengan aman.
Kisah penyanderaan tersebut berakhir cukup cepat, tetapi efeknya terhadap rencana kunjungan Soeharto sangat signifikan. Keputusan untuk menunda keberangkatan hingga beberapa hari kemudian menunjukkan betapa seriusnya ancaman yang dihadapi saat itu.
Ketegangan di Tengah Kunjungan Resmi
Begitu jadwal kunjungan ditentukan ulang, Soeharto akhirnya tiba di Den Haag pada 3 September 1970. Keberadaan beliau disambut langsung oleh Ratu Juliana dan para pejabat penting, meskipun suasana masih terasa tegang. Keputusan untuk menggunakan helikopter untuk menghindari jalan raya menjadi salah satu tindakan keamanan yang diambil oleh tim pengawas presiden.
Dalam pertemuan resmi di Istana Huis ten Bosch, Soeharto menunjukkan sikap diplomatis meski dalam kondisi yang berisiko tinggi. Penyampaian pesan-pesan resmi menjadi fokus utama, supaya hubungan kedua negara dapat diperjuangkan meskipun situasinya tidak ideal. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya diplomasi dalam menyelesaikan ketegangan antara kedua negara.
Akhirnya, meskipun kunjungan harus dipersingkat dan dilakukan dalam pengawalan ketat, Soeharto berhasil menyelesaikan misi yang diharapkan. Setelah pertemuan singkat dengan Menteri Belanda, beliau kembali ke Indonesia dengan selamat, menandai sebuah kisah penting dalam sejarah hubungan Indonesia dan Belanda.