Di Indonesia, ada banyak contoh pejabat publik yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Namun, cerita tentang Idham Chalid, seorang tokoh penting dalam sejarah politik dan sosial negara ini, menunjukkan bahwa integritas dan sederhana masih bisa dipertahankan meski berada di puncak kekuasaan.
Idham Chalid, yang menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan MPR pada periode 1971-1977, memilih untuk tidak menggunakan posisinya dengan cara yang egois. Ia bahkan dikenal sebagai sosok yang menjauhi kemewahan dan tetap memegang teguh nilai-nilai moral dalam menjalani hidup dan kariernya.
Perjalanan Karier Idham Chalid dalam Politik dan Sosial
Idham Chalid adalah seorang ulama dan politisi yang berasal dari Nahdlatul Ulama (NU). Dia terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar NU pada tahun 1956, dan perannya sangat signifikan dalam sejarah politik Indonesia. Pada Pemilu 1955, NU berhasil memperoleh 45 kursi parlemen, menjadikannya salah satu kekuatan politik yang dominan saat itu.
Dari tahun tersebut, karier politik Idham mulai menanjak pesat. Ia pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri dalam dua kabinet besar, sehingga memperkuat posisinya dalam arena politik nasional. Sambil mengejar kariernya, Idham tetap setia pada prinsip-prinsip yang diajarkan oleh NU.
Di era Orde Baru, meskipun hubungannya dengan Soeharto sangat dekat, Idham kembali membuktikan bahwa dia bukan tipe pejabat yang akan memanfaatkan posisinya untuk mencari kekayaan pribadi. Ia sangat menolak segala bentuk fasilitas yang kini diakses banyak pejabat, menunjukkan bahwa sikap sederhana bisa setara dengan kekuasaan.
Integritas dan Kesederhanaan yang Jadi Teladan
Ketika menjabat sebagai Ketua DPR/MPR, Idham memiliki posisi yang sangat penting dalam struktur kekuasaan. Namun, ia dikenal sebagai sosok yang sangat menjunjung tinggi integritas serta kesederhanaan dalam hidup sehari-hari. Hal ini tercermin dari keputusannya untuk tidak menggunakan mobil dinas di luar agenda resmi.
Bahkan, ia melarang istrinya untuk menggunakan uang di luar gaji resmi untuk keperluan sehari-hari. Bagi Idham, prinsip kehormatan dan kesederhanaan adalah hal yang lebih berharga daripada kekayaan materi. Dalam pandangannya, keluarganya tidak boleh menggunakan uang yang tidak halal.
Idham Chalid juga selalu mengingatkan bawahannya untuk tidak mengecewakan rakyat, dengan ingatan bahwa masyarakat memiliki akal sehat dan mampu menilai segala janji yang diucapkan. Bahkan dalam beberapa kesempatan, ia menegaskan betapa pentingnya kejujuran dalam pemimpin.
Pensiun dan Peran dalam Dakwah serta Pendidikan
Setelah mengakhiri masa jabatannya sebagai Ketua DPR/MPR pada tahun 1977, Idham memilih untuk pensiun dari dunia politik. Ia kemudian melanjutkan hidupnya sebagai seorang ulama dan pengajar, memberikan pengajian kepada banyak santri dan generasi muda. Idham mendirikan sejumlah lembaga pendidikan dan keagamaan yang berfokus pada pendidikan moral dan spiritual.
Melalui lembaga-lembaga tersebut, Idham tetap mewariskan nilai-nilai yang menjadi tonggak kehidupan, yaitu kejujuran, integritas, dan kesederhanaan. Ia tidak hanya menjadi politisi, tetapi juga dijadikan panutan dalam hal kebaikan moral dan spiritual.
Idham Chalid wafat pada 11 Juli 2010, meninggalkan serangkaian jejak yang tak terlupakan bagi bangsa ini. Setahun setelah kepergiannya, ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden saat itu, sebagai pengakuan atas jasanya yang luar biasa bagi negara.