Parade militer China pada Rabu, 3 September, menarik perhatian banyak kalangan, termasuk pemimpin dunia yang menghadiri acara tersebut. Salah satu di antara mereka adalah Presiden Rusia Vladimir Putin dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, serta Presiden RI Prabowo Subianto, yang menjadi titik fokus dalam sorotan global.
Acara ini mendapat reaksi dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang secara terbuka menuduh adanya konspirasi antara pemimpin-pemimpin tersebut. Dalam cuitannya, Trump mengungkapkan harapan agar salammnya sampai kepada mereka, sembari menunjukkan nada skeptis terhadap kerjasama yang terjalin di antara negara-negara tersebut.
Dalam konteks ini, perhatian Amerika Serikat terhadap hubungan diplomatik serta kunjungan pemimpin dunia ke China bukanlah hal baru. Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia, di bawah pimpinan Soekarno, juga pernah menjadi perhatian Washington saat melakukan kunjungan ke Beijing.
Sejarah Kunjungan Soekarno ke China dan Dampaknya
Kunjungan Presiden Soekarno ke China pada 30 September 1956 adalah titik awal yang penting dalam hubungan kedua negara. Setibanya di Beijing, kedatangan Soekarno disambut dengan penuh antusiasme oleh para pemimpin China, termasuk Mao Zedong dan Zhou Enlai.
Sambutan hangat ini tercermin dari arak-arakan yang diadakan untuk menghormati Soekarno, di mana ratusan ribu warga Beijing mengelu-elukan dan mengangkat poster-poster sambutan. Hal ini menjadi moment bersejarah karena menunjukkan kedekatan emosional antara kedua bangsa.
Namun, sorotan dari Amerika Serikat melalui Badan Intelijen AS (CIA) semakin intens, terutama di tengah ketegangan Perang Dingin yang sedang berlangsung. CIA mengawasi setiap langkah Soekarno, menganggap Indonesia sebagai salah satu wilayah strategis dalam pengaruh global antara kekuatan liberal dan komunis.
Dalam dokumen yang dipublikasikan pada tahun 2003, CIA mencatat dengan rinci perjalanan Soekarno di 17 kota di China selama dua minggu. Kunjungan ini tidak hanya memperkuat hubungan bilateral, tetapi juga menegaskan posisi Soekarno yang mendukung klaim China terhadap Taiwan.
Pandangan Soekarno terhadap China dan Peran Taiwan
Sikap Soekarno yang mendukung posisi China terhadap Taiwan menjadi salah satu poin yang paling diperhatikan oleh CIA. Dalam berbagai pidatonya pada saat itu, Soekarno menggambarkan hubungan antara rakyat China dan Indonesia sebagai “tak tergoyahkan” dan mengajak Mao Zedong berkunjung ke Indonesia.
Taiwan, yang sejak 1925 menjadi wilayah sengketa antara China dan pihak yang menuntut kemerdekaan, menjadi isu sensitif. Dukungan Soekarno terhadap klaim China ini dikhawatirkan akan memicu ketegangan lebih lanjut di kawasan.
Dalam autobiografinya, Soekarno mengungkapkan kesadarannya akan pengawasan ketat dari AS selama kunjungannya. Dia mencatat bahwa opini negatif terhadap dirinya mulai berkembang, dipicu oleh pemberitaan yang tidak mendukung dari media yang dianggap terpengaruh oleh politik AS.
Pertumbuhan skeptisisme terhadap pandangan Soekarno menjadi pembicaraan di kalangan politik AS, di mana ia mulai disebut-sebut sebagai simpatisan komunis. Soekarno merasa bahwa anggapan itu tidak adil dan tidak mencerminkan pandangannya yang lebih kompleks terhadap hubungan internasional.
Konsekuensi dari Hubungan Dekat Soekarno dan China
Setelah kunjungannya, hubungan antara Indonesia dan China menjadi lebih erat. Soekarno terus berupaya mendekatkan kedua negara, sementara ketegangan dengan AS mulai meningkat. Keterlibatan Indonesia dalam aliansi dengan China dan Korea Utara pun menjadi titik awal dari Poros Jakarta-Peking-Pyongyang.
Namun, hubungan ini seketika berubah setelah Soekarno lengser pada tahun 1966. Penggantinya, Soeharto, mengambil sikap yang lebih ketat terhadap ideologi komunis, mengakibatkan perubahan drastis dalam kebijakan luar negeri Indonesia terhadap China.
Baru pada tahun 1990, hubungan diplomatik antara Indonesia dan China mulai diperbaiki kembali. Momen ini menandai babak baru dalam kerjasama antar negara, dengan fokus pada pertumbuhan ekonomi dan stabilitas regional.
Kisah perjalanan diplomasi ini menggambarkan bagaimana faktor sejarah, politik, dan ideologi dapat mempengaruhi hubungan antar negara. Seiring berjalannya waktu, hubungan antar bangsa mengalami pasang surut yang dipengaruhi oleh banyak variabel di arena internasional.