Indonesia memiliki sejarah panjang yang dipenuhi dengan individu-individu berpengaruh dan berani. Salah satu tokoh tersebut adalah Profesor Achmad Mochtar, seorang ilmuwan medis yang meninggalkan jejak signifikan dalam dunia sains, meskipun nasibnya berakhir dengan tragis di tangan penjajah Jepang pada masa Perang Dunia II.
Kehidupan dan karya Mochtar tidak hanya mencerminkan dedikasi pada ilmu pengetahuan, tetapi juga mencerminkan realitas pahit perjuangan di masa kolonial. Pada tahun 1944, dia dihadapkan pada situasi yang mengubah nasibnya dan masa depan ilmu pengetahuan di Indonesia.
Peristiwa itu bermula pada 7 Oktober 1944, ketika Mochtar dijemput oleh polisi militer Jepang dari rumahnya di Jakarta. Penangkapan ini terjadi setelah kematian ratusan pekerja paksa yang diduga terkait dengan vaksin yang diteliti oleh Mochtar, meski tidak ada bukti yang mendukung tuduhan tersebut.
Ketika dibawa ke penjara Kempetai, Mochtar menerita siksaan berat dalam interogasi yang bertujuan untuk memaksanya mengaku terlibat dalam kematian para pekerja tersebut. Di penjara itu, dia tidak sendirian; para ilmuwan lain juga ditahan dan mengalami nasib serupa. Suara teriakan mereka menggema hingga ke gedung-gedung sekitar, menunjukkan betapa buruknya perlakuan yang diterima mereka.
Kisah Tragis Profesor Achmad Mochtar yang Terlupakan
Nasib Mochtar berakhir dengan sangat tragis pada 3 Juli 1945, saat dia dipenggal di Ancol, sedangkan rekan-rekan ilmuwannya dibebaskan. Kejadian ini menggambarkan betapa brutalnya tindakan penjajah terhadap individu yang memiliki potensi besar dalam ilmu pengetahuan. Meskipun dia dikenang oleh sejarah, namanya tidak mendapatkan perlakuan yang sama dengan ilmuwan lain pada masanya.
Setelah tragedi itu, terungkap bahwa Achmad Mochtar dan Eijkman Instituut tidak terlibat dalam kematian para pekerja paksa. Penelitian oleh Sangkot Marzuki dan Kevin Baird menunjukkan bahwa Jepang menjadikan Mochtar sebagai kambing hitam untuk menutupi kesalahan mereka sendiri dalam eksperimen medis yang dilakukan terhadap pekerja paksa.
Buku yang ditulis oleh Marzuki dan Baird menjelaskan bagaimana Mochtar menjadi korban kebijakan Jepang, yang berusaha menutupi kegagalan ilmuwan mereka. Dampak dari tuduhan itu tidak hanya menghancurkan hidupnya, tetapi juga menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan di Indonesia pada masa itu.
Menariknya, kematian Mochtar tidak hanya terkait dengan faktor-faktor kebijakan penjajah, tetapi juga terkait dengan sejarah persaingan ilmiah. Sebelumnya, Mochtar pernah membantah penelitian ilmuwan Jepang, Noguchi Hideyo, yang berpengaruh dalam dunia medis. Persaingan ini menambah kompleksitas pada situasi yang dihadapi Mochtar.
Siapa Noguchi Hideyo dan Apa Perannya dalam Sejarah?
Noguchi Hideyo adalah seorang ilmuwan Jepang yang terkenal pada awal abad ke-20. Dia diakui sebagai pionir di bidang kedokteran, dan sering dinominasikan untuk Hadiah Nobel atas kontribusinya dalam penelitian medis. Penelitiannya menunjukkan hubungan antara sifilis dan kerusakan saraf, serta klaimnya bahwa demam kuning disebabkan oleh bakteri tertentu.
Namun, claim terakhir yang diajukan Noguchi mendapat bantahan dari Mochtar melalui disertasi doktoralnya. Dalam karyanya, Mochtar membuktikan bahwa bakteri yang ditemukan oleh Noguchi tidak menyebabkan demam kuning, melainkan penyakit Weil, yang menjadi titik balik besar dalam reputasi keduanya.
Akhir hidup Noguchi juga tidak kalah tragis, di mana dia melakukan eksperimen pada dirinya sendiri yang berakhir fatal. Kejadian ini menghadirkan kesedihan dan menunjukkan risiko yang ditanggung ilmuwan dalam mencari kebenaran. Namun, penelitian Mochtar yang tepat telah membuktikan bahwa dia benar dalam bantahan ilmiahnya.
Hubungan antara bantahan Mochtar dan tragedi yang menimpa dirinya semakin jelas ketika diketahui bahwa Jepang bahkan menyita disertasi Mochtar saat penangkapannya. Ini menunjukkan upaya mereka untuk menghapus semua jejak kebenaran yang mungkin ada di dunia akademis.
Pemulihan Nama dan Dampak Warisan di Indonesia
Saat ini, warisan Mochtar seharusnya diingat dengan hormat sebagai pahlawan ilmu pengetahuan yang telah mengorbankan hidupnya demi kebenaran. Namun, sayangnya, namanya tidak sepenuhnya dipulihkan dalam sejarah yang lebih luas. Berbanding terbalik, Noguchi Hideyo diakui dan dihormati di Jepang, termasuk gambarnya yang terpampang di uang kertas 1.000 Yen, mencerminkan penghargaan yang tinggi terhadap kontribusinya.
Seharusnya, kita memahami bahwa perjuangan para ilmuwan seperti Achmad Mochtar adalah buah dari pengorbanan yang telah dilakukan demi ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Namanya perlu diangkat dan dikenang dalam konteks yang lebih adil, sebagai seorang pahlawan yang berkontribusi signifikan terhadap dunia medis.
Dengan menggali kembali sejarah dan meletakkan Mochtar di tempat yang layak, kita dapat memberikan contoh yang baik bagi generasi mendatang untuk terus berjuang dalam mencapai kebenaran. Sejarah tidak seharusnya hanya mengingat tokoh-tokoh yang malah menindas, tetapi juga mereka yang berjuang untuk keadilan.
Mempelajari kisah ibarat profesor Mochtar adalah langkah pertama dalam menghargai martabat dan pengorbanan yang telah dilakukan oleh para ilmuwan ini untuk kemaslahatan umat manusia. Seharusnya, pengetahuan dan keberanian mereka menjadi inspirasi bagi generasi saat ini maupun yang akan datang dalam dunia kesehatan dan sains.