Fenomena hidup bersama tanpa sebuah ikatan resmi atau yang akrab dikenal sebagai ‘kumpul kebo’ telah menjadi bagian dari sejarah sosial di Indonesia. Praktik ini bukan sekadar tren kontemporer, melainkan telah ada sejak zaman kolonial, terutama dalam kalangan pejabat Belanda yang tinggal di Hindia Belanda.
Pada masa itu, banyak pejabat tinggi dan penduduk Belanda yang memilih untuk hidup bersama wanita lokal tanpa adanya pernikahan resmi. Keputusan ini umumnya didasari oleh berbagai pertimbangan praktis dan ekonomis.
Salah satu alasan utama praktik ini berkembang adalah tingginya biaya dan risiko yang terkait dengan membawa pasangan dari Eropa ke Hindia Belanda. Oleh karena itu, banyak pejabat memilih untuk membangun hubungan dengan perempuan lokal, yang umumnya berasal dari kalangan budak.
Sejarah dan Asal Usul Kumpul Kebos di Indonesia
Contoh paling mencolok dari praktik ini adalah Gubernur Jenderal VOC Gustaaf Willem Baron van Imhoff yang menjabat dari 1743 hingga 1750. Dalam buku catatan sejarah, diceritakan bahwa meskipun telah memiliki istri, van Imhoff menerima budak perempuan cantik bernama Helena Pieters dari Ratu Bone sebagai hadiah.
Hubungan antara van Imhoff dan Helena Pieters kemudian melahirkan beberapa anak. Korban dari praktik ini adalah banyak wanita lokal yang dijadikan sebagai pasangan hidup tanpa memiliki status resmi.
Gubernur Jenderal lainnya, Reinier de Klerk, yang menjabat sekitar tahun 1777 sampai 1780, juga memiliki contoh serupa. Ketika tiba di Jawa, ia hidup bersama seorang budak perempuan dan dari hubungan tersebut, mereka pun memiliki banyak anak yang kemudian dibawa ke Belanda.
Praktik Kumpul Kebos Dalam Kalangan Elite Kolonial
Tak hanya Gubernur Jenderal, para elit lainnya juga menjalani hidup serupa. Penasihat Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles dan anggota Dewan Hindia, Herman Warner Muntinghe, juga tercatat memiliki beberapa budak perempuan sebagai pasangan meski mereka telah menikah dengan perempuan Indo-Belanda.
Bahkan, Raffles terkenal tidak mempermasalahkan hubungan tidak sah bawahannya dengan para budak, yang pada gilirannya menyebabkan maraknya praktik ‘kumpul kebo’ di bawah kekuasaannya.
Alexander Hare, salah seorang teman Raffles, bahkan dikenal memiliki ‘teman hidup’ dari berbagai wilayah yang dieksploitasi demi kepentingan pribadi. Dalam catatannya, Timothy Hannigan menuliskan bahwa Hare memanfaatkan posisinya untuk membentuk hubungan-hubungan ini.
Efek Sosial Praktik Kumpul Kebos di Masyarakat
Namun, tindakan para elit ini hanyalah puncak gunung es dari fenomena yang jauh lebih luas. Di lapisan masyarakat bawah, pegawai, prajurit, hingga pedagang Eropa pun tidak jarang menjalani kehidupan seperti ini, yakni tinggal bersama perempuan lokal tanpa ikatan resmi.
Masyarakat pada saat itu umumnya menyebut praktik ini dengan istilah “kumpul Gerbouw”. Dalam bahasa Belanda, ‘Gerbouw’ berarti bangunan atau rumah, yang menjadi sindiran bagi mereka yang memilih untuk berbagi atap tanpa pernikahan resmi.
Penting untuk dicatat bahwa praktik ini juga menciptakan dinamika sosial yang kompleks, di mana hubungan antara pihak yang memiliki kekuasaan dan wanita lokal sering kali tidak seimbang.
Refleksi dan Pembelajaran dari Sejarah
Melihat kembali sejarah ini, kita diingatkan akan nilai-nilai yang dapat diambil dari masa lalu. Meskipun fenomena ‘kumpul kebo’ membawa tantangan sosial, hal tersebut juga mencerminkan realitas kehidupan yang bertentangan dengan norma konvensional saat itu.
Di era modern, banyak masyarakat masih menghadapi isu serupa terkait hubungan yang tidak diakui. Melalui pemahaman tentang sejarah ini, kita dapat belajar dari pengalaman masa lalu dan menerapkannya untuk memahami hubungan sosial di masa kini.
Dengan mengeksplorasi sejarah kehidupan tanpa ikatan resmi ini, kita bisa mendapatkan perspektif yang lebih jelas tentang bagaimana dinamika hubungan sosial berubah seiring dengan waktu dan konteks budaya. Harapan selanjutnya adalah agar kita dapat menjadikan cerita-cerita ini sebagai pelajaran bagi generasi mendatang.