Jakarta menjadi sorotan pada Senin lalu ketika Presiden Prabowo Subianto memerintahkan kepada para menteri dan kepala lembaga untuk menggunakan Maung, kendaraan buatan PT Pindad, sebagai mobil dinas resmi. Instruksi tersebut menunjukkan komitmen pemerintah untuk memperkuat produk lokal, terutama dalam hal kendaraan dinas yang sering digunakan oleh pejabat negara.
Keputusan ini diambil dalam sebuah sidang kabinet, di mana Prabowo menegaskan bahwa kendaraan bermewah harus digunakan untuk keperluan pribadi saja. Kata-kata tegasnya menunjukkan tekad untuk mendukung industri otomotif dalam negeri dan merangsang patriotisme di kalangan pegawai negeri.
Maung yang dimaksud adalah kendaraan taktis yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan operasional pemerintah. Menurut Menteri Keuangan, anggaran untuk pengadaan kendaraan dinas sudah tersedia, namun pelaksanaannya akan bergantung pada kesiapan industri dalam negeri untuk memproduksi kendaraan tersebut.
Menggali Kembali Tradisi Kesederhanaan dalam Kepemimpinan
Seruan Prabowo untuk mengganti kendaraan dinas mengingatkan kita pada sosok Mar’ie Muhammad, mantan Menteri Keuangan yang dikenal sebagai “Mr. Clean.” Dalam sejarah, Mar’ie menciptakan teladan dengan memilih menggunakan mobil pribadi yang lebih tua ketimbang kendaraan dinas yang disediakan pemerintah.
Kisah ini muncul ke permukaan ketika pada tahun 1996, Mar’ie hadir untuk menerima penghargaan Bintang Mahaputra dari Presiden Soeharto. Dalam acara tersebut, alih-alih menggunakan kendaraan yang megah, Mar’ie datang dengan Kijang tua yang menjadi mobil pribadinya.
Situasi canggung terjadi ketika petugas keamanan di Istana Negara tidak mengenali Mar’ie sebagai Menteri Keuangan. Mereka menghentikan mobilnya, mengira pasangan tersebut adalah tamu biasa, hanya karena kendaraan yang digunakan tampak biasa saja.
Prinsip Kesederhanaan yang Dipertahankan
Mar’ie menjelaskan dalam autobiografinya bahwa penggunaan mobil dinas seharusnya dikhususkan untuk urusan dinas, bukan untuk kepentingan pribadi. Prinsip inilah yang dijunjung tinggi olehnya yang mencerminkan nilai-nilai integritas dan transparansi dalam pemerintahan.
Pilihan untuk tidak bergaya hidup glamor bukan hanya sekadar strategi branding, melainkan sebuah refleksi dari komitmennya terhadap efisiensi. Ia percaya bahwa selama sesuatu berfungsi dengan baik, tidak ada alasan untuk menggantinya.
Anak Mar’ie juga menambahkan bahwa ayahnya berpegang pada prinsip efisiensi lebih penting daripada gengsi, menekankan bahwa kendaraan mahal atau murah tidak menjadi patokan untuk menunjukkan status sosial.
Prestasi dalam Pengelolaan Keuangan Negara
Sederhana dalam gaya hidup, namun cemerlang dalam kinerja. Saat menjabat sebagai Dirjen Pajak, Mar’ie mampu melampaui target penerimaan pajak yang ditetapkan. Dari Rp9 triliun, ia berhasil meningkatkan penerimaan menjadi Rp19 triliun, menunjukkan keahliannya dalam pengelolaan sumber daya keuangan negara.
Ketika dilantik menjadi Menteri Keuangan, Mar’ie menerapkan kebijakan fiskal yang cermat untuk menjaga keseimbangan anggaran negara. Melalui strategi yang hati-hati, ia berperan penting untuk menanggulangi potensi krisis ekonomi yang mengintimidasi pada masa itu.
Keberhasilan Mar’ie tidak hanya diakui dalam lingkup nasional, tetapi juga mendapat pengakuan internasional. Pada tahun 1995, ia dinobatkan sebagai Menteri Keuangan Terbaik Asia, sebuah prestasi yang membanggakan dan mencerminkan dedikasi serta kemampuannya dalam mengelola keuangan negara.
Setelah pensiun pada tahun 1998, Mar’ie melanjutkan pengabdiannya di bidang kemanusiaan dan anti-korupsi hingga akhir hayatnya. Ia meninggal dunia pada 11 Desember 2016, meninggalkan warisan nilai-nilai integritas dan dedikasi terhadap bangsa.