Setiap 17 Agustus, Indonesia merayakan hari kemerdekaan dengan penuh suka cita. Momen ini merupakan pengingat perjuangan rakyat dalam menanggalkan penindasan penjajah Belanda selama berabad-abad, yang penuh dengan derita dan ketidakadilan.
Namun, setiap peringatan menggugah pertanyaan yang unik mengenai kekuatan dukun dan praktik santet di masyarakat. Mengapa praktisi tersebut tidak memanfaatkan kemampuannya untuk melawan penjajah demi mempercepat kemerdekaan yang diidam-idamkan?
Pertanyaan ini terdengar jenaka, tetapi menjadi menarik untuk ditelusuri lebih dalam. Dalam dunia yang modern ini, penjelasan logis bisa jadi lebih memberi makna, terutama jika merujuk pada pemikiran pemikir antropologi ternama, Claude Levi-Strauss.
Menelusuri Pentingnya Kepercayaan Dalam Praktik Santet
Claude Levi-Strauss, seorang antropolog asal Prancis, mengupas isu ini dalam tulisannya yang terkenal, “Dukun dan Sihirnya,” yang diterbitkan pada tahun 1949. Dalam karya tersebut, dia menggambarkan bagaimana masyarakat tradisional di Prancis percaya bahwa penyakit bisa dikaitkan dengan sihir.
Percaya pada sihir telah menyebabkan banyak orang lebih memilih mendatangi dukun daripada dokter. Kesaksian Levi-Strauss menunjukan bahwa dukun sering kali melakukan ritual yang dianggap efektif, seperti mengeluarkan benda asing dari tubuh pasien, mirip dengan yang ditemukan di Indonesia.
Walau menyajikan kesan magis, Levi-Strauss menekankan bahwa tidak semua praktik tersebut berbasis pada keefektifan. Sebab, pengaruh kepercayaan menjadi faktor penentu dalam kesuksesan praktik dukun tersebut.
Dia mencatat bahwa untuk praktik sihir dapat dianggap berhasil, terdapat tiga elemen saling terkait yang harus ada. Pertama, sang dukun mesti percaya pada teknik yang digunakannya.
Kedua, individu yang menjadi target sihir juga harus memiliki keyakinan pada kemampuan dukun tersebut, sedangkan ketiga, dukungan lingkungan sosial akan semakin memperkuat persepsi tersebut. Sebuah proses transformatif yang menjernihkan rasa percaya pada praktik dukun.
Pentingnya Tiga Unsur Dalam Keberhasilan Santet
Dari ketiga elemen tersebut, jika satu unsur tidak terpenuhi, maka ritual akan gagal. Dalam hal ini, kepercayaan menjadi komponen utama yang mengaitkan dukun, pasien, dan masyarakat secara keseluruhan. Levi-Strauss menamakan hubungan ini sebagai “Kompleks Shaman.”
Contohnya, seorang individu yang awalnya skeptis bisa terpengaruh oleh kepercayaan masyarakat sekitarnya. Mereka yang berada dalam lingkungan yang meyakini sihir mungkin akan ikut terbawa dan akhirnya percaya akan kemampuan dukun.
Sangat menarik untuk dicermati bahwa bila salah satu dari ketiga elemen tidak dapat dipenuhi, maka santet atau ritual dukun akan menghadapi kegagalan. Konsekuensinya, baik dukun maupun pasien tidak akan mendapatkan hasil yang diharapkan.
Di sini, peran kepercayaan dari semua pihak sangatlah kritis. Levi-Strauss menggarisbawahi ketiga elemen perlu saling terhubung agar sihir dapat berfungsi secara maksimal.
Analisis Komplek Shaman Dalam Konteks Penjajahan
Mengaitkan pertanyaan mengenai ketidakmampuan dukun dalam melawan penjajah, kita perlu menggunakan kerangka “Kompleks Shaman.” Pertanyaan mendasar yang muncul adalah, apakah penjajah Belanda memiliki kepercayaan serupa terhadap dukun?
Dalam konteks ini, elemen kedua sebagai sasaran utama tidak memenuhi syarat. Meskipun masyarakat Indonesia dan para dukun percaya, para penjajah yang menjadi korbannya mungkin tidak memiliki keyakinan yang sama. Ini menghasilkan disonansi dalam praktik tersebut.
Ketidakmampuan tercapainya hubungan psikologis antar elemen menjadi hambatan utama bagi efektivitas santet dan praktik spiritual lainnya. Jika salah satu elemen tidak sepenuhnya terpenuhi, maka di sinilah permasalahannya.
Levi-Strauss pun menyatakan bahwa ketiga elemen yang membentuk “Kompleks Syamanistik” harus berfungsi secara bersamaan untuk mencapai keberhasilan yang diinginkan.
Refleksi Terhadap Kepercayaan Masyarakat dan Pengetahuan Tradisional
Dalam pandangan luas, praktik dukun dan keberadaan santet mencerminkan alturasi keyakinan masyarakat terhadap hal-hal yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah. Kepercayaan ini terkadang bisa jadi kekuatan untuk mendukung individu yang sedang menderita.
Bagi banyak orang, menghadapi tantangan hidup seperti penyakit atau rasa sakit sering kali menciptakan kebutuhan untuk mencari jawaban dan solusi dalam bentuk yang lebih tradisional. Ini menunjukkan betapa kompleksnya hubungan antara kepercayaan dan identitas budaya.
Seiring berjalannya waktu, modernisasi mungkin memengaruhi cara pandang individu terhadap praktik-praktik kuno semacam ini. Namun, nilai-nilai yang dijunjung oleh kepercayaan tersebut masih bisa memberi pelajaran berharga bagi generasi sekarang.
Pada akhirnya, analisis mendalam mengenai kepercayaan masyarakat terhadap dukun dan santet mengajak kita untuk memahami bahwa tidak ada satu solusi tunggal untuk merespons tantangan hidup. Penghormatan terhadap warisan budaya dan tradisi kepercayaan adalah kunci untuk kehidupan yang lebih bermakna.