Sejarah mencatat nama Soeharto sebagai Bapak Pembangunan, sebuah julukan yang merefleksikan berbagai pencapaian di bidang ekonomi dan infrastruktur selama masa kepemimpinannya sebagai Presiden Republik Indonesia kedua. Namun, di balik gambaran prestisius tersebut, terdapat fakta-fakta yang jarang diketahui yang dapat mengejutkan banyak kalangan.
Berdasarkan informasi dari Kepala BAKIN yang kini dikenal sebagai BIN, Yoga Sugomo, terungkap bahwa gelar itu bukan sekadar penghormatan, melainkan sebuah strategi intelijen yang sebenarnya ditujukan untuk mendorong Soeharto mundur dari kekuasaan. Keterlibatan Yoga dan temannya, Ali Moertopo, dalam merencanakan itu menggambarkan tekanan terselubung yang ada di balik kekuasaan Soeharto selama dua dekade.
Selama masa kepemimpinan Soeharto, yang dimulai pada tahun 1968 dan berlangsung hingga 1998, Indonesia mengalami berbagai perubahan signifikan. Meski pembangunan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat digalakkan, keberadaan penguasa yang terlalu lama memimpin dapat menimbulkan dampak negatif, terutama pada dinamika politik dan demokrasi di tanah air.
Strategi Membangun Citra Melalui Gelar “Bapak Pembangunan”
Pada awal 1980-an, Yoga dan Ali sepakat bahwa sudah waktunya untuk mengalihkan kekuasaan kepada generasi berikutnya, karena Soeharto dianggap telah mencapai puncak pengabdiannya. Usia Soeharto yang kala itu 62 tahun menjadi salah satu pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan ini.
Gelaran “Bapak Pembangunan” dirancang sebagai sebuah strategi yang halus, menggambarkan bahwa Soeharto sudah saatnya untuk mundur dengan terhormat. Penggunaan pendekatan simbolik ini diharapkan dapat menyampaikan pesan kepada masyarakat sekaligus menjaga kestabilan situasi politik.
Operasi ini dimulai pada Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1981. Pada saat itu, spanduk besar dengan wajah Soeharto berserta label “Bapak Pembangunan Nasional” pertama kali ditampilkan kepada publik, yang segera diikuti oleh publikasi di media massa. Dengan cara ini, citra positif Soeharto semakin tersebar luas dan diterima oleh masyarakat.
Respon Masyarakat dan Pemberitaan Media
Ali Moertopo, sebagai Menteri Penerangan, menegaskan bahwa gelar tersebut layak diberikan, mengingat berbagai pembangunan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru. Dia menilai bahwa kondisi Indonesia kini jauh lebih baik dibandingkan dengan masa Orde Lama, yang penuh dengan kesulitan dan ketidakpastian.
Media massa berperan penting dalam menyebarluaskan citra positif tersebut. Pemberitaan yang konsisten menunjukkan upaya pemerintahan dalam membangun infrastruktur dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, strategi ini tidak berlangsung mulus seperti yang diharapkan.
Rencana Yoga dan Ali mulai menunjukkan arah yang tidak diinginkan. Gelar “Bapak Pembangunan” yang dimaksudkan sebagai pendorong untuk mundur, justru dimanfaatkan Soeharto untuk memperkuat posisinya. Hal ini mengindikasikan bahwa proses intelijen dan penggambaran citra tersebut tidak sepenuhnya dapat dikendalikan.
Dampak dan Legitimasi Kekuasaan Setelah Pemberian Gelar
Puncak strategi tersebut terjadi pada MPR yang mengukuhkan Soeharto sebagai Bapak Pembangunan melalui TAP MPR RI Nomor V/MPR/1983. Pengukuhan ini semakin memperkuat legitimasi kekuasaan Soeharto di hadapan publik dan tidak hanya mengukuhkan statusnya, tetapi juga memantapkan posisi dalam struktur pemerintahan.
Sejak mendapat pengakuan resmi ini, kekuasaan Soeharto semakin solid, dan belasan tahun ke depan, ia terus berkuasa. Meski menghadapi berbagai tantangan, kehadiran gelar “Bapak Pembangunan” telah mengubah cara pandang sebagian besar masyarakat terhadap kepemimpinannya.
Namun, pada 1998, meskipun Soeharto pada akhirnya harus mengakhiri masa jabatannya, warisan dan kontroversi seputar cara ia meraih legitimasi tetap menjadi perdebatan dalam sejarah politik Indonesia. Kisah ini menyiratkan bahwa di balik keberhasilan, terdapat strategi dan tantangan yang kompleks yang perlu dicermati.
















