Thailand kini menjadi sorotan setelah menerapkan peraturan baru mengenai penjualan dan konsumsi minuman beralkohol. Peraturan tersebut mulai berlaku pada 9 November, dengan denda yang signifikan bagi pelanggar, menandai langkah tegas pemerintah dalam mengendalikan konsumsi alkohol di negara tersebut.
Sejak tahun 1972, telah ada larangan penjualan alkohol di banyak gerai ritel antara pukul 14.00 hingga 17.00. Namun, undang-undang yang diperbarui kini tidak hanya memperpanjang larangan, tetapi juga memberi sanksi lebih berat bagi mereka yang melanggar.
Setelah revisi ini, individu yang kedapatan minum alkohol di luar waktu yang diizinkan dapat dikenakan denda hingga 10.000 baht, yang setara dengan Rp4,7 juta. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk menanggulangi masalah sosial yang terkait dengan alkohol.
Perubahan Legislatif yang Mengubah Cara Konsumsi Alkohol
Perubahan pada Undang-Undang Pengendalian Minuman Beralkohol ini memang cukup signifikan. Siapapun yang melanggar peraturan baru ini akan berhadapan langsung dengan sanksi hukum. Terlebih lagi, lokasi-lokasi tertentu di mana konsumsi alkohol dilarang kini juga diperketat pengawasannya.
Sementara beberapa tempat hiburan berlisensi dan hotel masih diizinkan untuk menyajikan alkohol selama waktu-waktu tertentu, tanggung jawab kini sepenuhnya beralih kepada konsumen. Usaha untuk memperketat pengawasan ini bertujuan untuk mendorong perilaku bertanggung jawab dalam konsumsi alkohol.
Meskipun beberapa pengecualian masih ada, perubahan ini menciptakan kebingungan dan kesulitan di kalangan pemilik usaha. Banyak dari mereka khawatir dengan dampak finansial yang mungkin dihadapi akibat peraturan yang ketat ini.
Dampak Terhadap Industri Restoran dan Hiburan
Presiden Asosiasi Restoran Thailand mengungkapkan keprihatinan tentang dampak negatif peraturan baru ini. Ia berargumen bahwa prosedur penjualan yang ketat dapat menghambat pertumbuhan industri restoran, yang saat ini sudah menghadapi berbagai tantangan.
Contoh konkret terlihat di kawasan Khao San Road, yang terkenal di kalangan turis dan backpacker. Para pemilik bar dan restoran di daerah ini mengkhawatirkan penurunan pendapatan akibat penjualan alkohol yang dibatasi. Hal ini dapat mengakibatkan industri hiburan berkurang secara signifikan.
Seorang asisten manajer di Khao San Road menyatakan bahwa mereka telah melihat penurunan permintaan untuk alkohol di jam-jam terlarang. Kebijakan ini, jika diteruskan, dapat berkontribusi pada penutupan beberapa usaha kecil yang bergantung pada penjualan alkohol.
Pola Pikir Masyarakat dan Kontroversi Seputar Kebijakan Ini
Di balik kebijakan ini, terdapat sejumlah opini yang kuat dari berbagai pihak. Beberapa anggota parlemen, terutama dari Oposisi, berpendapat bahwa undang-undang ini adalah langkah mundur yang melanggar kebebasan individu. Mereka mendorong liberalisasi penjualan minuman keras di seluruh waktu tanpa pembatasan.
Pernyataan yang kuat datang dari Taopiphop Limjittrakorn, yang mengatakan bahwa hukum baru ini hanya akan membingungkan para wisatawan. Ketersediaan alkohol yang terbatas dapat membuat pengalaman mereka menjadi kurang menyenangkan.
Hal ini semakin diperparah dengan keyakinan bahwa kebijakan ini dapat digunakan oleh oknum untuk memaksakan denda demi kepentingan pribadi. Kekhawatiran ini muncul dari protokol baru yang mungkin terlalu ketat dan tidak konsisten dalam praktiknya.
















