Hari ini, kita merenungkan peristiwa penting yang terjadi 57 tahun lalu, ketika dua warga negara Indonesia, Usman Janatin dan Harun Thohir, dieksekusi di tiang gantung di Penjara Changi, Singapura. Keduanya menjadi orang Indonesia pertama yang menghadapi hukuman mati di negara tersebut, akibat dari sebuah misi militer yang berujung pada ledakan besar.
Usman dan Harun adalah anggota Korps Komando Operasi (KKO) yang tergabung dalam TNI Angkatan Laut. Mereka berpartisipasi dalam misi yang terkait dengan Konfrontasi Indonesia-Malaysia, yang dipicu oleh kebijakan Presiden Soekarno.
Dalam konteks sejarah, konfrontasi ini merupakan perlawanan terhadap pembentukan Federasi Malaysia yang dianggap sebagai ancaman bagi kedaulatan Indonesia. Keduanya terlibat dalam operasi militer yang berujung pada tindakan ekstrem, yang menjadi titik balik dalam hubungan kedua negara.
Sejarah Latar Belakang Konfrontasi Indonesia-Malaysia
Konfrontasi Indonesia-Malaysia dipicu oleh ambisi politik dan ketegangan regional. Presiden Soekarno menganggap Federasi Malaysia sebagai proyek kolonial yang diprakarsai oleh Inggris dan berpotensi merugikan Indonesia.
Antara tahun 1963 hingga 1966, kedua negara terlibat dalam perselisihan yang melibatkan berbagai operasi militer dan sabotase. Hal ini menandai masa yang penuh ketegangan dan konflik, menjadi latar belakang bagi tindakan Usman dan Harun.
Misi dari jajaran militer tidak hanya sekadar menentang pilihan politik, melainkan juga melibatkan aspek militer dan ideologis. Tindakan mereka mencerminkan semangat pertahanan kedaulatan yang sangat kuat pada masa itu.
Pelaksanaan Misi yang Berujung Tragis
Usman, Harun, dan seorang rekan, Gani bin Arup, ditugaskan untuk melakukan sabotase di Singapura. Dalam menjalankan misinya, mereka memilih metode yang sangat berisiko dan penuh tantangan.
Pada 10 Maret 1965, mereka berhasil menyusup ke pusat kota Singapura dengan menyamar sebagai pedagang. Pilihan untuk tampil sebagai pedagang dimaksudkan untuk menghindari kecurigaan aktivis keamanan setempat.
Tindakan bom yang mereka tanam di Macdonald House, yang merupakan gedung penting di kawasan strategis, menyebabkan ledakan yang mengakibatkan kematian dan luka-luka. Kejadian ini mengguncang masyarakat Singapura dan menciptakan ketegangan lebih lanjut.
Tangkap dan Proses Hukum Usman dan Harun
Usai menjalankan misi, ketiga anggota KKO itu berusaha melarikan diri dengan perahu menuju Batam. Namun, kegagalan mesin perahu menyebabkan mereka tertangkap oleh aparat keamanan Singapura.
Sementara Gani dapat melarikan diri, Usman dan Harun harus menghadapi proses hukum yang ketat di negara tersebut. Pada 20 Oktober 1966, mereka dijatuhi hukuman mati setelah melalui sidang pengadilan yang sangat cepat.
Meski upaya diplomatik dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk memohon grasi, semua usaha tersebut ditolak. Situasi ini menambah kesedihan dan kontroversi di kalangan masyarakat Indonesia saat itu.
Warisan Sejarah dan Pandangan yang Berbeda
Pada 17 Oktober 1968, Usman dan Harun dieksekusi. Momen tersebut menjadi simbol perjuangan mereka dan diingat dalam sejarah Indonesia sebagai pengorbanan untuk bangsa.
Setelah dieksekusi, jenazah mereka dibawa pulang dan disambut sebagai pahlawan nasional. Banyak orang mengiringi pemakaman mereka sebagai bentuk penghormatan atas pengorbanan yang telah mereka lakukan.
Namun, pandangan terhadap mereka tidak seragam. Di Indonesia, mereka dianggap sebagai pahlawan, sedangkan di Singapura, mereka dipandang sebagai pelaku teror yang merugikan warga sipil. Ketegangan ini masih terasa hingga kini, menciptakan kerumitan dalam hubungan kedua negara.