Harris menyoroti beberapa pasal dalam undang-undang yang dapat menimbulkan masalah praktik di lapangan. Ia menyampaikan kekhawatirannya mengenai potensi penafsiran subyektif yang dapat merugikan banyak pihak, terutama bagi mereka yang tidak memahami regulasi tersebut.
Salah satu isu utama yang diangkat adalah adanya frasa ‘tidak seimbang’ dalam regulasi yang mengatur perampasan aset, yang bisa membuat petani dan orang lain yang berpenghasilan rendah terancam. Situasi ini dapat mendorong penyalahgunaan kekuasaan dan merusak keadilan sosial.
Lebih lanjut, ia menekankan perlunya kehati-hatian dalam menerapkan pasal-pasal tersebut agar tidak menjerat orang-orang yang seharusnya tidak menjadi target. Harris berpendapat bahwa interpretasi yang salah bisa berakibat fatal bagi banyak individu.
Bahaya Interpretasi Subyektif dalam Pasal Perampasan Aset
Frasa ‘tidak seimbang’ dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a bisa menjadi sumber masalah besar. Hal ini memungkinkan terjadinya penilaian yang tidak adil terhadap aset seseorang, terutama jika tidak didukung oleh bukti yang jelas.
Harris memberi contoh konkret bahwa seorang petani yang mewarisi tanah tanpa dokumen lengkap bisa dianggap memiliki harta yang berlebihan. Akibatnya, dia berisiko dicurigai sebagai pengemplang hukum, padahal situasi tersebut mungkin sepenuhnya tidak adil.
Dalam hal ini, petani tersebut dapat kehilangan semua aset yang tentunya merupakan sumber penghidupan keluarganya. Ini menunjukkan bahwa interpretasi hukum yang tidak tepat bisa sangat merugikan mereka yang paling rentan dalam masyarakat.
Ambang Batas dan Risiko Salah Sasaran dalam Perampasan
Pada Pasal 6, Harris menggarisbawahi potensi masalah terkait ambang batas nominal Rp 100 juta untuk perampasan aset. Menurutnya, hal ini berpotensi menyebabkan banyak orang tak bersalah menjadi korban hukum.
Sebagai contoh, seorang buruh yang berhasil membeli rumah sederhana senilai Rp 150 juta bisa berisiko kehilangan rumahnya hanya karena ketidakpahaman mengenai aturan yang berlaku. Situasi ini mengindikasikan pentingnya memperjelas batasan agar tidak ada penyalahgunaan dalam penegakan hukum.
Di satu sisi, ada kemungkinan bahwa penjahat dapat menyiasati aturan tersebut dengan cara-cara yang tidak etis, seperti membagi aset menjadi nilai yang lebih kecil dari Rp 100 juta. Ini menunjukkan adanya kesenjangan dalam sistem yang dapat dimanfaatkan oleh individu dengan niat buruk.
Pentingnya Mempertimbangkan Nasib Ahli Waris dalam Hukum
Selain itu, Pasal 7 ayat (1) menjadi perhatian tersendiri karena menyatakan bahwa aset tetap dapat dirampas meskipun tersangka sudah meninggal atau melarikan diri. Harris menegaskan bahwa hal ini bisa merugikan ahli waris yang mungkin tidak terlibat dalam tindakan pidana.
Risiko yang dihadapi adalah anak-anak bisa kehilangan rumah yang merupakan satu-satunya warisan dari orang tua mereka. Situasi ini bisa sangat tragis dan menciptakan dampak jangka panjang bagi generasi mendatang.
Oleh karena itu, penting bagi pembuat undang-undang untuk mempertimbangkan implikasi sosial saat merumuskannya. Memasukkan perlindungan bagi ahli waris bisa menjadi langkah yang lebih adil dan bijaksana dalam penerapan hukum perampasan aset.