Setiap negara memiliki peran penting dalam pengelolaan keuangan, dan menteri keuangan menjadi ujung tombak dalam hal ini. Posisi ini tidak hanya menyangkut pengelolaan anggaran, tetapi juga mencerminkan dinamika politik dan ekonomi suatu negara.
Di Indonesia, sejarah mencatat banyak tokoh yang berperan dalam pengaturan keuangan, namun satu nama mencuri perhatian. Dia adalah Daeng Mangalle, seorang tokoh dari Makassar yang menempuh jalan tidak biasa untuk menjadi menteri keuangan di negeri asing.
Kisah ini diawali ketika Daeng Mangalle menyaksikan kehancuran kesultanan tempatnya berada akibat intervensi asing. Keputusan untuk meninggalkan tanah kelahirannya bukanlah hal yang mudah, tetapi itu adalah langkah yang diambil demi menghormati jati diri dan harga diri.
Pergolakan Sejarah dan Perjanjian Bersejarah
Sejarah mencatat momen penting ketika Sultan Hasanuddin dari Kesultanan Gowa menandatangani Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667. Perjanjian ini menjadi pintu masuk bagi kekuasaan VOC untuk menguasai perdagangan di wilayah Sulawesi Selatan.
Perjanjian ini, meskipun menghentikan konflik bersenjata, membawa dampak negatif bagi Gowa. Tak hanya kehilangan kedaulatan, tetapi juga hak atas perdagangan yang selama ini menjadi sumber perekonomian mereka.
Bagi Daeng Mangalle, perjanjian ini adalah simbol dari kebangkitan kesadaran nasional. Perasaannya yang terluka memotivasi dia untuk melawan, meskipun harus meninggalkan kampung halamannya dan mengambil risiko besar.
Pencarian Tempat Baru dan Dukungan yang Diperoleh
Setelah melarikan diri dari Makassar, Daeng Mangalle menuju Banten, semoga dapat membangun kembali kekuatan. Namun, ketika Banten bersekutu dengan VOC, ia sekali lagi harus mengambil langkah baru untuk menyelamatkan diri.
Perjalanannya membawanya ke Siam, di mana ia disambut baik oleh Raja Phra Narai. Kecerdasannya dalam mengelola keuangan membuatnya mendapatkan kepercayaan untuk mengatur kas kerajaan.
Pangkat barunya sebagai bendahara kerajaan, yang dalam bahasa Thai disebut “Doeja Paedi,” menandakan keberhasilan Daeng Mangalle dalam meraih posisi strategis. Namun, perjalanan ini tidak tanpa tantangan, karena dia masih harus menghadapi tuduhan yang berasal dari intrik politik di pengadilan.
Tuduhan dan Pertarungan untuk Kehormatan
Tuduhan yang menyasar Daeng Mangalle berkaitan dengan konspirasi untuk menciptakan ketidakstabilan politik di kerajaan Siam. Meskipun ia menyangkal semua tuduhan tersebut, suasana di pengadilan semakin memanas.
Raja Phra Narai, terpengaruh oleh berbagai desas-desus, memutuskan untuk bertindak. Ia meminta bantuan pasukan Prancis untuk mengepung komunitas Makassar di Ayuthia, membuka kembali konflik yang seharusnya telah usai.
Salah satu aspek yang dikhawatirkan oleh orang-orang Makassar adalah bahwa mereka tidak hanya menghadapi musuh dari luar, tetapi juga perselisihan internal yang terguncang oleh intrik di dalam kerajaan. Hal ini semakin memperburuk situasi Daeng Mangalle saat ia berjuang untuk mempertahankan kehormatannya di tengah tuduhan tak berdasar.
Penantian Akhir dan Warisan Sejarah
Perlawanan Daeng Mangalle akhirnya harus berakhir tragis ketika pasukan Siam berhasil mengalahkannya. Meskipun demikian, keberaniannya dalam bertempur tetap dikenang oleh penduduk setempat. Dia menjadi simbol perjuangan melawan ketidakadilan.
Kisah Daeng Mangalle adalah pengingat akan pentingnya keberanian dalam mempertahankan prinsip-prinsip yang diyakini. Walaupun ia tidak lagi hidup, aksi-aksi dan keputusannya menginspirasi generasi berikutnya untuk berdikari dan berjuang demi kedaulatan.
Hari ini, namanya terus dikenang tidak hanya sebagai seorang pahlawan, tetapi juga sebagai salah satu orang Indonesia yang pernah menjabat sebagai menteri keuangan di negeri asing. Jejaknya memberikan pelajaran berharga tentang integritas dan komitmen terhadap cita-cita yang lebih tinggi.