Peristiwa menarik yang melibatkan seorang Presiden Indonesia dan seorang penipu terjadi pada 8 Agustus 1957. Seorang pria bernama Idrus muncul di Palembang dan dengan berani mengaku bahwa dirinya adalah pangeran dari sebuah kerajaan yang pernah megah, khususnya Kerajaan Sriwijaya.
Dengan fisik yang gagah dan wibawa, Idrus mengundang perhatian luas. Ia datang bersama lima orang yang berpenampilan mencolok, menambah keyakinan masyarakat akan klaimnya sebagai bangsawan.
Pada awalnya, masyarakat tidak begitu percaya dengan pengakuan tersebut. Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan ditambah dukungan dari sosok-sosok tertentu, kepercayaan terhadap Idrus semakin besar, termasuk di kalangan para pejabat setempat.
Awal Mula Penipuan yang Mengguncang Indonesia
Kunjungan Idrus ke Jakarta menjadi langkah berikutnya dalam rencana penipuan ini. Pada tanggal 10 Maret 1958, ia berhasil diterima oleh Presiden Soekarno di Istana Negara, sebuah pencapaian yang tidak biasa untuk orang biasa.
Selama pertemuan tersebut, Idrus menjelaskan posisinya sebagai raja dari Suku Anak Dalam. Tanpa ragu, Soekarno memberi penghormatan dan berbagai fasilitas kepada Idrus sebagai tanda hormat kepada bangsawan.
Idrus diberi keleluasaan untuk berkeliling ke berbagai kota di Jawa, termasuk Bandung, Semarang, Solo, dan Yogyakarta. Keberadaannya disertai pengawalan lengkap dari polisi, membuatnya tampil bak seorang raja yang sebenarnya.
Menerima Kehormatan dengan Bumbu Kebohongan
Setiap kota yang ia kunjungi, sambutan untuknya selalu meriah. Di Jakarta, misalnya, Idrus dijamu secara istimewa dengan makan malam mewah oleh Wali Kota Sudiro.
Meski demikian, ada keunikan dalam perilakunya yang mencolok. Idrus dikenal lebih suka menikmati daging mentah, khususnya ular, yang tentu tidak biasa bagi tamu agung.
Di Bandung, perharian bukan hanya rasa hormat, namun juga cinta muncul ketika ia bertemu dengan seorang perempuan bernama Markonah. Keduanya akhirnya menikah dan mulai berpura-pura sebagai raja dan ratu.
Jatuhnya Topeng Kebohongan di Madiun
Namun, kebohongan tersebut tidak bertahan lama. Kecurigaan datang dari pihak berwenang di Madiun, yang merasa sikap Idrus dan Markonah tidak mencerminkan wibawa seorang bangsawan.
Setelah diinterogasi, terungkap bahwa Idrus hanyalah seorang kepala desa biasa. Markonah pun tidak lebih dari seorang perempuan biasa, yang terjebak dalam permainan kebohongan yang diciptakan Idrus.
Kasus penipuan ini melangkah ke pengadilan, dan keduanya mengaku bersalah. Mereka mengajukan permohonan untuk keringanan hukuman, namun mahkamah menegaskan bahwa kepercayaan masyarakat dan wibawa Presiden tak bisa dipermainkan.
Pelajaran dari Kisah Penipuan yang Menghebohkan
Hukuman penjara sembilan bulan dijatuhkan kepada Idrus dan Markonah. Kasus ini menjadi buah bibir yang menarik perhatian publik, terutama karena melibatkan sosok Presiden dan sejumlah pejabat tinggi lainnya.
Menariknya, pernyataan penyesalan Markonah saat di persidangan menggambarkan betapa seriusnya akibat dari kebohongan yang mereka lakukan. Ia berusaha menunjukkan rasa bersalah dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.
Kisah ini bukan sekadar mengenai penipuan, namun juga mencerminkan dinamika sosial dan politik Indonesia di era awal kemerdekaan. Ini menjadi pengingat bagi banyak orang akan kerapuhan serta pentingnya kewaspadaan terhadap informasi yang diterima.