Setelah 17 Agustus 1945, Indonesia memasuki periode yang penuh ketegangan. Saat itu, Belanda merasa terdesak untuk kembali menguasai tanah jajahannya, meski Indonesia sudah menyatakan kemerdekaan setelah kekuasaan Jepang berakhir.
Presiden Soekarno yang bersikeras untuk tidak berkolaborasi dengan mereka serta mendorong rakyat untuk berjuang demi kemerdekaan menciptakan kondisi ekonomi yang sangat gugup bagi Belanda. Dengan latar belakang sejarah panjang eksploitasi, Belanda terancam menghadapi krisis ekonomi yang serius.
Selama berabad-abad, Belanda telah mengandalkan kekayaan yang diperoleh dari Hindia Belanda. Pendapatan yang dihasilkan dari eksploitasi sumber daya alam dan manusia memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Belanda di Eropa.
Masa Ketegangan dan Pertarungan untuk Kemerdekaan Indonesia
Sejak awal masa kolonial, Belanda menguasai Indonesia dengan berbagai kebijakan yang merugikan rakyat. Sistem tanam paksa yang diterapkan pada abad ke-19 memungkinkan pemerintah Belanda untuk mengalirkan keuntungan besar dari koloni ke kas negara.
Menurut sejarawan, pendapatan dari sistem ini mencapai jumlah yang sangat besar. Kira-kira 234 juta gulden diperoleh antara 1831 hingga 1850, lalu meningkat menjadi 491 juta gulden antara 1851 hingga 1870, berkontribusi lebih dari 30% terhadap PDB Belanda pada masa itu.
Setelah berbagai penemuan, total pendapatan Belanda dari Indonesia selama periode 1878 hingga 1941 ditaksir mencapai 23,5 miliar gulden. Angka ini mencerminkan betapa pentingnya posisi Indonesia bagi Belanda dalam pemenuhan sumber daya ekonomi mereka.
Kekhawatiran Belanda dan Tanggapan Terhadap Kemerdekaan
Ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, masyarakat Belanda merasakan kecemasan yang mendalam. Ungkapan terkenal “Indisch verloren, ramspoed geboren” mencerminkan ketakutan bahwa kehilangan Hindia akan membawa malapetaka ekonomi bagi Belanda.
Saat itu, keyakinan bahwa belahan bumi yang dihuni banyak sumber daya alam ini sangat vital untuk keberlangsungan ekonomi Belanda menjadi semakin nyata. Tanpa dukungan ekonomi dari Indonesia, krisis tampaknya menjadi hal yang tak terelakkan.
Untuk mencegah terwujudnya kebangkitan ekonomi yang diprediksi bakal suram, Belanda merencanakan serangan untuk merebut kembali Indonesia. Namun, tindakan tersebut sangatlah sia-sia, mengingat rakyat Indonesia sudah bersatu dibawah pemerintahan Soekarno yang bertekad untuk mempertahankan kemerdekaan.
Agresi Militer dan Akhir Pertikaian
Setelah beberapa kali melakukan aksi militer yang dikenal sebagai operasi polisionil, Belanda harus mengakui kenyataan pahit bahwa upaya mereka untuk menguasai kembali Indonesia gagal. Perjuangan rakyat Indonesia menjadi simbol keberanian yang tak tergoyahkan.
Akhirnya, pada 27 Desember 1949, Belanda secara resmi mengakui kedaulatan Indonesia. Namun, banyak yang salah memperkirakan bahwa Belanda akan runtuh. Sebaliknya, mereka mendapatkan dukungan luar biasa dari Amerika Serikat melalui Marshall Plan sebagai bantuan pemulihan ekonomi pascaperang.
Dengan jumlah bantuan yang sangat besar, Belanda tidak hanya bertahan, tetapi juga mampu bangkit kembali menjadi kekuatan ekonomi di Eropa pada akhir 1950-an. Kemandirian ekonomi ini menunjukkan bahwa negara tersebut tidak sepenuhnya bergantung pada eksploitasi di Indonesia.
Pelajaran Sejarah dan Dampaknya pada Hubungan Belanda-Indonesia
Pada akhirnya, ungkapan yang menyatakan bahwa kehilangan Hindia akan membawa bencana terbukti salah. Rakyat Belanda dapat bernafas lega karena penyaluran bantuan dari Amerika Serikat mendorong negara tersebut untuk bangkit lebih kuat.
Kisah ini memberikan pelajaran berharga mengenai ketahanan dan keberanian. Indonesia, yang dulunya terjajah, kini menjadi negara merdeka, sementara Belanda menemukan cara untuk beradaptasi dengan dunia baru pascaperang.
Sejarah ini tetap relevan pada masa kini, menjelaskan dinamika hubungan antara penjajah dan yang terjajah, serta pentingnya keberanian dalam mempertahankan hak asasi manusia dan kedaulatan.